Wonokromo Mau Dikemanakan?

Oleh; suparto wardoyo
Akankah wonokromo tersisa tinggal sekedar legenda atau menjadi serpihan sejarah dalam dinamika peradaban Kota Surabaya? Bagi warga Surabaya, Wonokromo memiliki bobot historis-psikologis dan watak sosio-budaya perkotaan yang monumental. Wonokromo dan Sawunggaling merupakan sentrum metropolitan Surabaya tempo doeloe. Dendang lagu “…semanggi suroboyo… lontong balap wonokromo…” adalah nyanyian keabadian yang melambangkan betapa pentingnya Wonokromo bagi arek-arek Suroboyo. Tetapi, apa yang sedang terjadi di kosmos Wonokromo?

Tataran ruang Wonokromo telah menyajikan alasan pembenar tentang singgungan kemajuan wilayah ini. Di Wonokromo bertengger seluruh jaringan kemasyarakatan Kota Surabaya. Altar Wonokromo menyuguhkan: Kebun Binatang Surabaya (KBS), Terminal Joyoboyo, Pintu Air Jagir dan Stasiun Kereta Api Wonokromo, serta etalase wewangian yang dapat dinikmati setiap malam di sepanjang rel kereta api sebagai “cafĂ© jelata warga kumuh kota”.

Semua itu titik nadi penghayatan jatidiri Wonokromo. Kompleksitas Wonokromo merefleksikan kepedihan yang mendalam bagi warga kota yang acapkali terpinggirkan. Pembangunan Pasar Wonokromo dalam kerangkeng Darmo Trade Centre (DTC) agar sedikit gemerlap sebagai simbol “keagungan” dan “pintu gerbang” Kota Surabaya, tentu dapat diterima dengan catatan. Konstruksi pasar musti harus dapat diagendakan untuk “melayani jemaat” secara signifikan yang berasal dari semua segmen warga: dari kalangan elite sungguhan sampai pada yang “elite” (ekonomi sulit) beneran. Kawan-kawan pedagang kaki lima (PKL) dan “penduduk asli” pun seyogianya kooperatif demi terciptanya citra elegan Kota Surabaya. Publik harus dapat “dibuat” percaya bahwa belanja di Pasar Wonokromo (DTC) “pasti untung”. Kekhawatiran sepinya pembeli wajib di tepis dengan perubahan perilaku penjual: stop jualan keliling yang sembarangan.

Perluasan KBS secara planologis perkotaan sangat relevan. KBS dengan ukuran yang seperti ini tidak layak sebagai arena wisata yang mencerahkan dan mencerdaskan masyarakat. KBS diniscayakan memiliki fungsi edukasi dan ekologis serta taman rekreasi yang higienis. Mendayagunakan KBS sebagai eco-tourism perlu dirancang dan direalisasikan dengan berbagai pertimbangan sosiologis dan kultural “alam sekitar”. Wisata berwawasan lingkungan di Kota Surabaya dapat dimulai dengan rancangan perluasan KBS. Melalui penataan areal dengan kelengkapan flora dan fauna yang rimbun akan menjadikan KBS sebagai paru-paru Kota Surabaya.

Perluasan lahan KBS dengan merelokasikan Terminal Joyoboyo (ke luar kota) berimplikasi pengurangan pada pencemaran udara. Penghijauan KBS dan Wonokromo menuju Bundaran Waru memiliki arti fundamental bagi penyehatan kota. Bundaran Waru yang saat ini ditimbuni tanah seperti lahan pemakaman dan dililit “tambang tol” amatlah memprihatikan. Dengan menghijaukan Wonokromo dan perluasan KBS serta relokasi Terminal Joyoboyo diharapkan kawasan Wonokromo terpotret seperti “adik” yang lagi khatam membaca kitab sucinya. Betapa riang dan santunnya Wonokromo. Bahagia sekali rasanya.

Bagaimana dengan Terminal Joyoboyo? Terminal ini memiliki kisah sejarah sangat melegenda. Di era Tahun 1980-an setiap anak yang diajak plesir ke Kota Surabaya merasa tidak lengkap apabila belum melintas dan singgah di Terminal Joyoboyo sebelum akhirnya berkunjung ke KBS. Terminal Joyoboyo mencerminkan mobilitas penduduk Kota Surabaya. Namun, merelokasi semua terminal yang ada di jantung Kota Surabaya perlu dipikirkan terus-menerus. Jangan ada lagi terminal dalam lorong-lorong kota yang sudah amat sesak.
Di dalam kota cukup diberi “halte-halte humanis” yang layak sebagai tempat transit menuju jurusan masing-masing penumpang. Transportasi kota dapat diatur dalam jenjang waktu tertentu dan pasti (per lima atau 10 menit). Hal ini dilakukan sebagai salah satu langkah untuk mewujudkan udara bersih sehingga seiring dengan program langit biru (“blue sky programme”). Relokasi tentu tidak boleh instan dan membahayakan kehidupan sosial. Anarkisme perencanaan kota tidak boleh terjadi. Tujuan mulia jangan sampai ambruk gara-gara metodologinya yang salah.

Bangunan Pintu Air Jagir dapat dijadikan sebagai aset wisata yang dapat mendatangkan devisa Negara. Nilai kesejarahan Pintu Air Jagir ini dapat dipromosikan kepada para wisatawan domestik maupun Belanda yang memiliki “relasi hitam” masa silam. Kondisi Pintu Air Jagir sekarang ini seperti “tugu tak bertuan”. Padahal, para pelancong (terutama dari Belanda) yang berkunjung ke Surabaya ingin sekali menyaksikan semua pintu air di Surabaya, tak terkecuali Pintu Air Jagir: Apa sudah sedemikian sibuknya para penyelenggara Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya, sehingga tidak sempat lagi memoles potensi yang ada di Jagir?

Langkah memperindah Wonokromo membawa implikasi lanjutan berupa pembersihan Kali Wonokromo dan Kalimas secara total. Pintu Air Jagir dapat dijadikan tonggak awal wisata air dari kawasan Surabaya Selatan. Wisata air memang membutuhkan perahu-perahu molek yang kondusif bagi perpelesiran di sepanjang aliran sungai.

Dari Dam Jagir inilah wisatawan (diimpikan) dapat menelusuri (“beningnya”) aliran sungai di Kawasan Timur: Jagir Wonokromo, Panjang Jiwo, Kedung Baruk, Wonorejo Rungkut, Wonorejo Tambak sampai ke Selat Madura. Ke Barat wisatawan dapat menelusuri “indahnya”: Pulo Wonokromo, Gunungsari, Karah, sampai pada Karang Pilang Barat. Ke Utara wisatawan dapat menjelajahi: Ngagel, Dinoyo, Keputran, Kayun, Ketabang, Peneleh, Jembatan Merah, dan berakhir di Tanjung Perak (Selat Madura).

Kapan hal itu menjadi kenyataan? Surabaya benar-benar seperti Paris yang memiliki Sungai Siene (“Croisiere sur la Siene”) yang mempesona dan Kota Surabaya memang punya itu. Tetapi, kenapa dijadikan bak sampah ketimbang taman wisata? Siapa yang salah? Kita semua warga Kota Surabaya yang memikul dosa ekologis ini.

Menata Wonokromo harus didasarkan pada kondisi geografis dan nilai sosiologisnya. Wonokromo dapat disulap sebagaimana digambarkan John Eade (1997): untuk memproyeksikan sebuah kota yang masuk jaringan “living the global city” yang menurut Peter Hall (1998) dirajut pada konteks “cities of tomorrow”. Disinilah kebenaran filosofi bangunan Kota Nabi Madina Al-Munawwarah yang dapat ditiru dan sudah semestinyalah direalisir di Kota Surabaya.

Kekumuhan dan kesemrawutan Wonokromo harus menjadi renungan besar mengenai kebangunan Kota Surabaya. Kita semua harus terbebas dari sindrom dan paradigma neriman yang salah. Kesadaran dan pencerahan untuk membangun kota beradab yang bermula dari ajaran anadhofatu minal iman yang begitu lekat bagi pengikut Muhammad SAW kapan dapat diwujudkan? Sebagai warga Kota Surabaya tentu kita tidak ingin menyaksikan pundi-pundi kegersangan Kota Surabaya. Bukankah tidak ada yang dibanggakan dari sebuah kota yang keropos segala dimensinya?

Kota Surabaya telah tumbuh liar tanpa kendali dan perencanaan. Kemauan untuk mendesain ulang Wonokromo selayaknya disambut dengan pemahaman bahwa warga Wonokromo senantiasa hidup dalam genggaman hak-hak konstitusional “atas lingkungan hidup yang baik dan sehat” (Pasal 28 H Undang-Undang Dasar 1945). Apa yang kita saksikan dalam “galeri” Wonokromo? Itulah yang perlu dipikirkan dan dikerjakan oleh Pemkot Surabaya.

Dari mana datangnya dana untuk membangun “Wonokromo”? gampang saja. Hapus anggaran-anggaran legal yang tidak berkeadilan berupa uang tunjangan untuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Surabaya. Mari jadikan membangun Wonokromo sebagai ujian “ketulusan publik” bagi semua anggota DPRD. Anggota DPRD tidak perlu anggarantunjangan perikerjaan. Bukankah terdapat kesan bahwa warga Surabaya “tidak menganggap” lagi keberadaan DPRD, bahkan pernah terbersit minta dibubarkan saja.

Maka anggaran tunjangan DPRD dapat digunakan untuk kesejahteraan warga, termasuk yang tinggal di zona Wonokromo. Rumah-rumah susun dapat dibangun dari alokasi anggaran tunjangan DPRD yang miliaran rupiah. Rumah-rumah tersebut diperuntukkan bagi korban penggusuran di sepanjang Kali Wonokromo, Kalimas, maupun Kali Surabaya. Bukankah DPRD perlu “mencuri hati” agar warga mencintainya? Dewan dan Walikota ada di dalam kontrol warga. DPRD yang sekarang boleh saja kerja tanpa anggaran tunjangan demi warga. Coba mau apa tidak? Alasannya sederhana. Bagaimana mungkin mereka dengan “riangnya” menerima pendapatan sebagai anggota DPRD, padahal tuannya sendiri (warga Kota Surabaya) masih banyak yang menderita? Dalam bahasa vulgarnya: masak anggota DPRD berpendatan lebih besar dari bosnya sendiri. Apa itu wajar? Kecuali DPRD yang “kurang belajar”.

No comments